1 Jan  
    Usia sekolah yang berada antara rentang  umur 5 – 12 tahun merupakan tahap perkembangan anak yang melibatkan  aspek sekolah dalam kehidupannya. Para orangtua berkeyakinan bahwa tugas  orangtua adalah bekerja dan mengasuh, sementara tugas anak pada rentang  usia tersebut difokuskan untuk BELAJAR. Pengertian belajar di sini  adalah dikaitkan dengan tugas mereka sebagai murid sekolah.
Usia sekolah yang berada antara rentang  umur 5 – 12 tahun merupakan tahap perkembangan anak yang melibatkan  aspek sekolah dalam kehidupannya. Para orangtua berkeyakinan bahwa tugas  orangtua adalah bekerja dan mengasuh, sementara tugas anak pada rentang  usia tersebut difokuskan untuk BELAJAR. Pengertian belajar di sini  adalah dikaitkan dengan tugas mereka sebagai murid sekolah.Di beberapa ceramah untuk orangtua, kerap dicoba dilontarkan sebuah pertanyaan kepada mereka ”Apa yang Bapak/Ibu maksud sebagai belajar?”. Hampir 90% orangtua sepakat bahwa belajar adalah mengerjakan PR. Itulah kenyataan di Jakarta bahwa orangtua dipusingkan dengan pekerjaan rumah atau PR anaknya saat pulang dari kantor. Ketika kita mengaitkan belajar dengan membuat PR maka secara sengaja atau tidak kita telah terlalu menyederhanakan arti kata BELAJAR.

Sebagian orangtua masih memandang belajar sebagai proses perolehan pengetahuan yang pasif dengan materi yang terstruktur dan hasil belajar yang dapat diramalkan. Biasanya jika menjelang musim ulangan, orangtua sibuk mencari aneka soal-soal ulangan tahun sebelumnya. Bahkan ada yang namanya ’gang soal’ yaitu sekumpulan orangtua pemburu soal-soal ulangan. Dari sudut pandang orangtua hal itu bisa dimengerti karena materi pelajaran yang luar biasa padat menyebabkan kita mudah panik. Kekhawatiran yang muncul dari orangtua adalah ”Apakah anak saya bisa naik kelas ya?” ”Duh…. soal ulangan kerap tidak ada yang di buku.” ”Satu hari 3 ulangan, bagaimana belajarnya?!” Jadilah profesi orangtua bertambah menjadi pemburu soal. Dalam memegang teguh keyakinan belajar sebagai proses yang pasif, kita menjadi lebih heboh ketika anak menjelang ulangan atau ujian.
Kepanikan orangtua terhadap pendidikan anak juga menjadi semakin besar dengan kurikulum pendidikan kita yang ’moody’. Para desainer pendidikan boleh saja bosan dan ingin selalu memperbaru kurikulum, tetapi apa iya sudah mengukur dampak dari ’sikap bosannya’ terhadap pelaku pendidikan seperti guru dan sekolah? Dampaknya, yang kena anak-anak kita juga. Rasanya tidak akan ada habisnya jika kita menghujat para pembuat kurikulum. Nah, lebih baik kita banting kemudi dan meyakini pandangan Stephen Covey si pencetus ”7 Habits of Highly Effective People” yang mengatakan daripada kita pusing dengan hal-hal yang sulit diubah, mulailah inisiatif perubahan dari diri kita sendiri. Apa yang bisa kita lakukan untuk anak kita agar proses belajarnya dapat lebih baik?
Kembali ke fokus pembahasan pada anak usia sekolah, pikiran kita tergelitik ”Apa iya mereka akan dijejali pengetahuan yang semakin lama semakin banyak jumlahnya dan tidak terbendung lagi? Bukankah belajar tidak akan asyik jika kegembiraan dalam belajar tidak melihat pada proses belajar itu sendiri?”
Abbott (dalam Watkins dkk, 2000) meneguhkan bahwa
Learning [is] that reflective activity which enables the learner to draw upon previous experience to understand and evaluate the present, so as to shape future action and formulate new knowledge.Dari definisi tersebut dapat ditarik pengertian bahwa belajar adalah proses yang aktif untuk memahami hal-hal baru dengan pengetahuan yang kita miliki. Di sini terjadi penyesuaian dari pengetahuan yang sudah kita miliki dengan pengetahuan baru. Dengan kata lain, ada tahap check and re-check terhadap informasi tersebut, apakah pengetahuan yang kita miliki masih relevan atau kita harus memperbaru pengetahuan kita.
Kalau pengertian belajar seharusnya seperti di atas, lalu proses seperti apa yang harus dilalui seorang anak dalam belajar? Schunk dan Zimmerman (2001) memperkenalkan konsep ’SELF-REGULATED LEARNING’. Siswa yang diasumsikan termasuk kategori ’self-regulated’ adalah siswa yang aktif dalam proses belajarnya, baik secara metakognitif, motivasi, maupun perilaku. Mereka menghasilkan gagasan, perasaan, dan tindakan untuk mencapai tujuan belajarnya. Secara metakognitif mereka bisa memiliki strategi tertentu yang efektif dalam memproses informasi. Sedangkan motivasi berbicara tentang semangat belajar yang sifatnya internal. Adapun perilaku, ditampilkannya adalah dalam bentuk tindakan nyata dalam belajar.
Apakah setelah belajar lalu anak selesai begitu saja? Dalam proses belajar tersebut ada pula loop yaitu proses monitoring terhadap keefektifan strategi yang telah diterapkan. Kesadaran anak memilih dan menggunakan strategi belajar tertentu akan membedakan anak yang belajar benar dan anak yang belajar sekedarnya. Anak yang berusaha memahami materi bacaan dengan mencari kata kunci, lalu membuat flowchart sebagai ringkasan, dan kemudian menceritakan ulang isi suatu materi bacaan dengan pengertiannya sendiri akan berbeda jauh penguasaan materinya dengan anak yang hanya menggunakan cara menghafal saja.
Nah, bisakah kita mengajak anak kita menjadi ’self-regulated’? Tentu saja bisa, berikut adalah tips sederhana yang dapat dilakukan oleh orangtua agar anaknya senang belajar.
1.
Sebagai orangtua, jadilah model atau tokoh panutan terhadap standar perilaku yang diharapkan.
Dari anak kita mulai berbicara, ajak mereka untuk melihat apa yang menjadi dasar berpikirnya. Misalnya, ”Kamu suka mobil ya, bagian mana atau apanya yang kamu suka?” Mengajukan pertanyaan yang sifatnya terbuka melatih anak untuk menyadari pikiran dan tindakannya.
Ketika anak duduk di SD, mereka membutuhkan model dari orangtua dalam belajar. Pada tahap persiapan, dorong dan pujilah usaha anak untuk mencari buku, melihat kelengkapan alat tulis, dan materi yang terkait. Peran reinforcement (penguat) akan membantu pembentukan perilaku tersebut. Contoh penguat yang cukup manjur adalah pujian seperti ”Kakak hebat ya sudah bisa mengambil sendiri buku yang akan dipelajari sesuai dengan jadual hari ini”. Pemberian checklist akan membantu anak melihat proses tersebut sudah dilalui dengan tepat.
Dalam proses belajar, kita perlu ada di dekat anak pada waktu awal-awal sekolah. Kita mau membentuk perilaku anak, jadi kita pun perlu hadir mendampingi. Dalam membaca materi bacaan, dukung anak untuk membaca dengan tempo yang lambat sesuai dengan tanda baca. Jelaskan kepada anak pentingnya memahami pokok dari cerita dari setiap paragraf. Lalu berikan anak kesempatan untuk mencari kata kunci.
Perhatikan channel belajar anak. Anak yang visual akan sangat senang membuat ringkasan yang bisa nyaman dilihat secara visual, misalnya dengan mindmapping atau membuat flowchart. Sementara itu, anak yang auditory akan terbantu belajarnya dengan cara mencoba menceritakan ulang apa yang ia pelajari. Anak yang kinestetik lebih mudah memahami dengan memperagakan. Apapun channel belajar anak, semakin banyak kita memanfaatkan media belajarnya maka anak semakin paham.
Pada saat anak tidak mengerti, maka kita tidak perlu segera memberitahu jawabannya. Pancing dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka tanpa memberikan penilaian. Lalu ketika selesai belajar, minta anak mengecek pemahamannya dengan menceritakan ringkasan materi yang kemudian dilanjutkan dengan menjawab pertanyaan secara mandiri.
Alangkah baiknya jika langkah-langkah belajar juga dibuat checklist sehingga akan membantu anak mengecek proses yang telah dilaluinya.
2.
Bukalah akses informasi anak kepada referensi. Sediakan buku yang memadai, ataupun referensi seperti kamus atau ensiklopedia, termasuk pula internet.
3.
Perbanyak berdiskusi dengan anak selama belajar. Proses diskusi akan melatih anak mengasah dasar berpikir dan sistematika berpikir. Suasana diskusi harus dibuat demokratis sehingga anak tidak takut opininya akan disalahkan.
4.
Berikan kesempatan kepada anak untuk menjadi mandiri dalam penyelesaian tugas-tugas sekolah baik tugas individual maupun kelompok. Ketika anak ditugaskan untuk mencari informasi tentang tugas seorang dokter maka berikan kesempatan bagi anak untuk mewawancarai salah seorang dokter lalu menuliskan resume dari wawancara. Kemudian barulah anak diminta mengaitkan tinjauan buku teks dengan hasil wawancaranya.
5.
Belajar bisa dimana saja. Artinya rasa ingin tahu anak tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Pada saat anak tertarik dengan informasi tertentu, itulah saat yang tepat untuk membangun rasa ingin tahu dengan mencari pengetahuan yang lebih dalam dan mendiskusikannya dengan orangtua. Misalnya ketika kita sedang ke mall lalu anak tertarik dengan tempat parkir yang melingkar maka setiba di rumah topik tersebut dapat dijadikan bahan diskusi yang disertai dengan mencari informasi tentang konstruksi bangunan.
Dengan belajar model ’self-regulated’ maka kegiatan belajar yang serba rapi teratur dalam arti harus duduk manis dan diam mengerjakan soal menjadi bergeser. Dalam proses belajar yang interaktif antara anak dengan materi pelajarannya maka suasananya lebih fun. Kakak dan adik dapat dilibatkan juga dalam diskusi sehingga proses diskusi menjadi lebih kaya. Hasilnya, pengetahuan anak jadi lebih mendalam dan anak akan senang belajar. Yang penting, proses tersebut sudah dibiasakan sejak kecil dengan waktu belajar yang sedikit demi sedikit bertambah. Hitung-hitung sekalian menerapkan ”diet TV”. Daripada anak menonton acara TV yang tidak mendidik, atau menjadi pembelajar pasif dari program-program edukasi anak yang pun jumlahnya masih sangat minim, mengapa tidak kita buat suasana belajar yang menjadikan anak sebagai pemeran utama dalam proses belajarnya sendiri?
Self-regulated learning juga membuat anak senang belajar tanpa harus diimingi-imingi hadiah seperti ”Kalau bisa menghafal kali-kalian sampai sepuluh, nanti diberi coklat”. Self-regulated learning tidak mengenal reward semacam itu. Mengapa tidak ada reward? Ya karena reward-nya didapat dari kepuasan diri sendiri. Ketika anak sudah memahami suatu materi dapat kita rayakan dengan toss bersama dan ekspresi kegembiraan ”Kita berhasil!!”. Akhirnya, pemahaman materi menjadi reward bagi proses belajar itu sendiri. Bukankah memang begitu semestinya yang namanya belajar?
Sumber: http://blog.caturstudio.com